MINGGU 26 JUNI 2022, KHOTBAH YOEL 2:23-27 (MINGGU ETIKA KERJA)

“Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” (Kejadian 1:26)

Bacaan : Yudas 1: 24-25

Tema : ALLAH MEMBERI DENGAN BENAR (IBEREKENNA RIKUT PAYONA)

 

Pengantar

Ada sebuah filosofi kerja orang Jepang yaitu ikigai. Ikigai mempunyai 4 unsur yaitu passion (mengerjakan hal yang kita suka), mission (dunia membutuhkannya), vocation (kita menguasai bidang tersebut), profession (yang kita kerjakan bisa menghasilkan uang). Konsep ikigai inilah salah satu yang membuat orang Jepang dikenal sebagai pekerja keras. Bekerja tidak sekedar bicara soal jurusan apa, berapa gaji, jabatannya apa, dan sebagainya. Menurut Yohanes Calvin reformator gereja, tiap jenis pekerjaan adalah penetapan dan panggilan Allah. Maka orang Kristen bisa menggunakan konsep ikigai dengan membahasakannya demikian:

Kita bekerja dari hati dengan penuh sukacita, yang kita kerjakan menjadi berkat bagi orang lain, kita bisa diandalkan dalam bidang itu karena sudah menekuni dan menguasainya, dan Tuhan memberkati yang kita kerjakan sehingga ada hasil yang bisa dinikmati. Keempat unsur ini saling melengkapi. Saat kita melihat pekerjaan sebagai panggilan dari Allah, kita akan menyadari bahwa pekerjaan dan ibadah adalah sebuah kesatuan. Kita tidak dapat bekerja dengan berbuat dosa dan tetap mengharapkan Tuhan memberkatinya.

 Penjelasan Teks

Yoel menyampaikan pesan Allah bagi umat Israel tentang Hari Tuhan yang sudah dekat. Gambaran tentang hari Tuhan yang gelap gulita dan kekeringan yang diungkapkan Yoel juga disertai dengan seruan untuk bertobat. Pasal 1 diawali dengan serangan belalang. Hama belalang adalah ancaman besar bagi pertanian. Kawanan belalang terbang dalam jumlah besar dan mampu menempuh jarak jauh, dan melahap semua hasil panen dan tanaman. Ini bisa menyebabkan manusia kelaparan. Belalang adalah salah satu tulah yang dikirimkan Tuhan bagi bangsa Mesir agar Firaun membiarkan bangsa Israel meninggalkan Mesir. Tapi kali ini belalang dipakai Tuhan untuk menghukum bangsaNya. Nabi Yoel menggambarkan serangan belalang sebagai gambaran untuk serangan pasukan musuh Israel (Yoel 2: 1-11). Uniknya dalam Kitab Yoel tidak disebutkan secara jelas jenis dosa apa yang dilakukan umat pada waktu itu. Tetapi ada seruan bagi bangsa Israel untuk bertobat, berbalik kepada Tuhan, yang bukan dari tampak luar tetapi hati yang benar-benar berubah (koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu). Juga disampaikan janji Tuhan bagi bangsa yang bertobat, akan ada pemulihan, berkat Tuhan gandum, anggur, minyak akan diberikanNya, menjauhkan musuh bangsa Israel, semua kembali hijau dan subur. Allah terkadang bekerja secara berdaulat di dalam sejarah melalui bencana dan serbuan musuh untuk mendatangkan pertobatan. Karena itu dalam Yoel 3: 23-27 yang menjadi bahan khotbah kita dikatakan:

  1. Bersorak-soraklah dan bersukacitalah karena Tuhan, Allahmu. Janji Tuhan kepada bangsa yang berbalik kepadaNya: Hujan pada waktu yang tepat, hasil usaha melimpah ruah, segala kebutuhan tercukupi dan terpuaskan. Ketika hidup bangsa Israel jauh dari Tuhan, konsekuensinya adalah berkat Tuhan jauh dari mereka, termasuk dari usaha dan pekerjaan. Sia-sia bekerja keras jika tidak diberkati Tuhan, karena hasilnya tidak bisa dinikmati. Maka saat umat bertobat, Allah berjanji akan memberi kelimpahan.
  2. Tuhan akan memulihkan tahun-tahun yang hasilnya dimakan belalang pindahan, belalang pelompat, belalang pelahap dan belalang pengerip. Meski Tuhan mengirimkan kawanan belalang sebagai tentara-Nya yang besar, namun kasih-Nya lebih besar dari itu. Maka Tuhan berjanji akan menggantikan semua kerugian itu dengan berkat yang berlimpah. Tahun kekurangan digantikan tahun kelimpahan.
  3. Bangsa Israel akan memuji-muji nama Tuhan. Mereka akan mengetahui bahwa Allah tidak pernah meninggalkan mereka. Tidak ada Allah lain yang layak disembah selain Tuhan Allah. Bangsa Tuhan tidak akan malu lagi selama-lamanya.

Renungan/Aplikasi 

  1. Tuhan Allah berkuasa atas segalanya. Kawanan belalang bisa dipakai Tuhan untuk menyerang tanaman, sebagai cara mendidik umat-Nya. Tetapi tidak selamanya Tuhan membiarkan umat berada dalam masa sulit. Tahun-tahun krisis digantikan Tuhan dengan tahun kelimpahan. Semua berada dalam kendali Tuhan. Karena itu, ketika kita mengalami kerugian dalam usaha, mungkin selama pandemi banyak usaha yang sulit berkembang bahkan harus tutup, tetap imani bahwa Tuhan sanggup memulihkan segalanya. Hanya Tuhan satu-satunya yang mampu.
  2. Evaluasi diri. Kita juga perlu memeriksa cara hidup kita, cara kerja kita, evaluasilah semua itu. Kita harus terus bekerja dengan baik dan jujur, menjaga hidup kita sesuai dengan firman-Nya. Kita tetap bekerja, Tuhan tetap memberkati. Pekerjaan dan usaha kita menjadi cerminan kehidupan beriman kita. Invocatio Kej 1: 26 juga menjadi pengingat bahwa manusia diberi hikmat karena diciptakan menurut gambar Allah, karena itu dalam menggunakan kuasa atas alam bukan mengeksploitasi untuk kepuasan sendiri, tetapi dengan berhikmat untuk kebaikan segenap ciptaan. Etika kerja Kristen adalah bekerja bersama Tuhan dan untuk Tuhan juga sesama.
  3. Tuhan memberi berkat atas apa yang kita kerjakan. Seperti hujan yang diturunkan di awal dan di akhir musim untuk menumbuhkan apa yang ditanam oleh bangsa Israel, demikian juga Allah menurunkan berkat-berkatNya atas pekerjaan dan usaha kita. Maka kita memiliki tugas untuk bekerja. Persiapkan diri untuk berkat Tuhan yang akan datang, kerjakanlah bagian kita dengan benar. Jangan membuang-buang waktu dan bermalas-malasan. Berkat Tuhan tercurah dengan porsi yang tepat sesuai dengan yang IA lihat. Bekerjalah dengan hati penuh syukur dan pakaikan pekerjaan kita bahkan seluruh hidup kita jadi kemuliaan bagi Tuhan (bdk doksologi Yudas 1:24-45).

 

Pdt. Yohana Ginting S.Si (Teol)-Runggun Cibubur

MINGGU 19 JUNI 2022, KHOTBAH ROMA 10:1-4

Invocatio  :

Mazmur 143:10

Bacaan :

Mazmur 105:1-6

Tema  :

Dibata Ngerembakken Manusia Kempak DiriNa / Allah Mendekatkan Manusia kepada DiriNya.

 

Pendahuluan

Syalom, salam sejahtera bagi kita sekalian, saudara-saudaraku yang terkasih di dalam Kristus, kita bersyukur hari ini kita kembali bersama-sama bersekutu dan beribadah untuk memuliakan Tuhan, minggu ini kita kembali merenungkan makna keselamatan yang telah dikaruniakan Allah bagi kita di dalam Tuhan kita Yesus Kristus.

Setiap agama mengajarkan jalan keselamatannya masing-masing, hal inilah yang menjadi dasar pengajaran dan landasan iman dalam menjalankan kehidupan beragama. Oleh karenanya sebagai umat Kristen kita harus benar-benar memahami pengajaran yang benar tentang keselamatan itu dan hidup didalam keselamatan itu sendiri. Pengetahuan yang benar tentang keselamatan itu akan menentukan tindakan dalam menjalani kehipan sebagai umat beragama. Pada renungan khotbah minggu ini kita akan melihat bagaimana pengalaman iman Rasul Paulus dari seorang anti Kristus menjadi Rasul dan pengajaran yang disampaikannya kepada jemaat di Roma.

1. Dari Anti Kristus menjadi Pengikut Kristus

Saudara-saudara yang terkasih, Saulus (Paulus) adalah seorang yang sangat taat menjalankan undang-undang taurat karena sejak kecil dia sangat disiplin belajar dan menjalankan undang-undang taurat kemudian menjadi seorang anti-Kristus karena meyakini bahwa diluar dari agama Yahudi adalah sebuah penistaan dan kejahatan diadapan Allah, sehingga dia sangat bersemangat dalam menganiaya jemaat (Flp. 3:6a). Karena semangat yang tidak tepat inilah Paulus menjadi seorang penganiaya yang ganas (1Tim. 1:13). Dia dahulu menganggap orang-orang Kristen sebagai penghujat Allah. Kenyataannya, justru dia sendiri yang menjadi seorang penghujat (1Tim. 1:13).

2. Memiliki pengertian yang benar.

Orang Yahudi adalah umat yang sangat patuh menjalankan undang-undang agama, dan sungguh-sungguh menjaga dan menjalankan perintah agama, namun mereka tidak memiliki pengertian yang benar tentang kebenaran Allah, Paulus mengingatkan jemaat bahwa Inti kesalahan bangsa Yahudi terletak pada: "mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah" (10:3c). Sikap ini disebabkan oleh dua hal: "mereka tidak mengenal kebenaran Allah" dan “mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri”. Hati yang tidak takluk kepada Allah disebabkan oleh pikiran yang tidak tunduk pada firman Allah.

Semua aktivitas relijius yang mereka lakukan bahkan ditujukan untuk memperoleh kebenaran dari Allah. Mereka berupaya sedemikian rupa supaya layak diperhitungkan sebagai orang yang benar di hadapan Allah. Permasalahannya, kebenaran seperti ini bukanlah "kebenaran Allah". Kebenaran dari Allah diterima melalui iman dan sejak zaman Abraham, Allah sudah menetapkan bahwa pembenaran dari Allah didasarkan pada iman.

Jika "kebenaran Allah" diperoleh melalui iman, hal itu bukan merupakan hasil usaha manusia, Pembenaran melalui iman adalah anugerah, sedangkan pembenaran melalui kesalehan adalah upah. Keduanya bersifat eksklusif. Karena itu, usaha bangsa Yahudi untuk “mendirikan kebenaran mereka sendiri”, berkontradiksi dengan pembenaran melalui iman. Ini tidak takluk pada kebenaran Allah.

Mengapa mereka sampai tidak mengenal kebenaran Allah dan ingin mendirikan kebenaran mereka sendiri? Akar persoalan diterangkan di 10:4. Mereka tidak mengerti maupun meyakini bahwa "Kristus adalah kegenapan hukum Taurat, sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya".

3. Kristus adalah kegenapan Hukum Taurat.

Kehadiran Yesus Kristus di dunia ini bukanlah menghapuskan hokum taurat, namun untuk menggenapinya, Apakah yang dimaksud dengan "kegenapan hukum Taurat": (yun:telos nomou)? Para penafsir Alkitab memberikan pendapat yang berlainan. Keragaman pandangan ini sangat bisa dipahami. Baik kata telos (“kegenapan”) maupun nomos ("Hukum Taurat") memiliki jangkauan arti yang beragam. Lebih jauh, bagaimana kita menafsirkan yang satu akan mempengaruhi penafsiran kita terhadap yang lain.

Kata telos bisa berarti kegenapan akhir, atau tujuan. Mayoritas penerjemah Alkitab mengambil arti yang kedua. Pilihan mayoritas ini tampaknya memang didukung oleh konteks. Di ayat 2-3 Paulus sudah menyinggung kekeliruan bangsa Yahudi yang menggunakan Taurat untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri. Di ayat 4 Paulus menyatakan bahwa mereka yang percaya kepada Kristus berhenti menggunakan Taurat untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri". Iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat mengakhiri usaha sia-sia yang dilakukan oleh orang-orang berdosa guna meraih kebenaran di hadapan Allah.

Tidak lupa di akhir ayat 4 Paulus mempertentangkan antara pembenaran melalui Taurat dan iman ("sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya"). Keduanya memang tidak dapat berjalan beriringan.

Dengan demikian, di mata Paulus, upaya bangsa Yahudi bukan sekadar tidak sempurna atau tidak lengkap, sehingga perlu ditambahkan iman kepada Kristus. Upaya mereka benar-benar salah, tidak peduli betapa bersemangat mereka melakukan hal tersebut. Tidak peduli seberapa besar kesungguhan mereka. Ketulusan dan kesungguhan harus disertai dengan kebenaran. Kesalahan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh berarti sungguh-sungguh salah.

Renungan- Refleksi

Melalui pengajaran yang kita renungkan melalui khotbah minggu ini kita diingatkan bahwa keselamatan itu bukanlah rancangan manusia, namun rancangan Allah sendiri. Keselamatan itu adalah anugerah yang sangat besar yang telah dikaruniakanNya bagi kita, hanya - Dialah yang sanggup untuk mendatangkan keselamatan itu dan semua itu dianugerahanNya karena kasihNya yang besar bagi manusia.

Kekeliruan yang dilakukan oleh bangsa Yahudi pada zaman Paulus bisa saja terjadi pada orang-orang Kristen sekarang. Sebagian orang yang rutin beribadah dan menganggap kerajinan itulah yang menjamin keselamatan mereka. Sebagian lagi mengukur kerohanian berdasarkan keaktifan dalam pelayanan. Ada pula yang baru merasa layak di hadapan Allah jika menjalani kehidupan yang saleh. Yang lain meyakini bahwa kasih Allah bisa berkurang atau bertambah, tergantung sikap kita kepada-Nya. Tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa korban Kristus di kayu salib baru sempurna jika ditambahi kesalehan kita, Semua sikap ini merupakan penghinaan terhadap penebusan Kristus, Apa yang Dia lakukan sudah genap, Sempurna Tidak perlu ditambah apa-apa. Semua kebaikan dan kesalehan kita sama sekali tidak akan mempengaruhi kesempurnaan kebenaran di dalam Kristus bagi kita. Semua itu hanyalah perwujudan, bukan persyaratan bagi kebenaran di hadapan Tuhan. Amin

                                                                                             Pdt Togu Parsadaan Munthe M.Th.MM

MINGGU 12 JUNI 2022, KHOTBAH 8:1-10

Invocatio :

2 Tesalonika 1:2

Bahan bacaan pertama :

Roma 5:1-5 (Tunggal)

Tema :

Kemuliaan Tuhan nyata di seluruh Dunia

 

1. Kata Pengantar

Saudara-saudari yang terkasih dalam Yesus Kristus,

Dalam nyanyian Mazmur pasal ke-8 (https://www.youtube.com/watch?v=_Hfj2ziP_AE) dilantunkan dengan begitu indah, sebagai ungkapan kebesaran, dan kemuliaan Tuhan Allah. Jika kita memahami dalam kitab Mazmur pasal nya yang ke-8 lebih sering digambarkan sebagai doa syukur pemazmur kepada Tuhan yang telah membuat manusia menjadi ciptaan yang bermartabat karena dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat serta diberi kuasa atas buatan tangan Allah. Mazmur ini tidak secara langsung bersinggungan dengan pertanggung jawaban manusia terhadap ciptaan Allah lainnya. Memang Mazmur 8 secara garis besar memperlihatkan kekaguman sang pemazmur terhadap karya Tuhan yang ditemuinya di dalam alam semesta, tetapi tidak berbicara tentang tanggung jawab manusia kepada alam. Tapi menunjukkan kemuliaan Tuhan Allah kepada setiap hasil ciptaanNya.

Mengacu kepada tema yang diangkatkan mengenai kemuliaan, di dalam

Alkitab, arti kata "kemuliaan" (Glory), "Kabod" (bahasa Ibrani) adalah Mulia, Agung, Makmur, Berlimpah; "Doxa" (bahasa Yunani): Semarak, Kecemerlangan, Kemasyhuran. Khusus melihat Injil Lukas 2:14, kita menemukan kata "kemuliaan" seperti ‘doksologi‘. Kata (doxa) ini digunakan untuk menjelaskan beberapa hal penting yaitu: pertama, sifat dan tindakan Tuhan dalam manifestasi diri-Nya sendiri. Kedua, karakter dan cara Tuhan seperti yang diperagakan melalui Kristus dan melalui orang percaya (2 Korintus 3:18; 4:6). Ketiga, dari keadaan penuh berkat dimana orang percaya untuk selanjutnya masuk menjadi serupa dengan Kristus -- (Roma 8:18, 21; Filipi 3:21). Keempat, kecerahan atau kemegahan: supranatural, berasal dari Allah (seperti dalam shekinah "glory" dalam tiang awan dan dalam Kemah Suci).

2.Pembahasan Nats

Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan kita Yesus Kristus,

Menurut Marie Barth and Pareira menekankan Mazmur pasal ke-8 lebih menghubungkan “nyanyian untuk liturgi malam” ini dengan pengakuan akan eksistensi manusia yang menerima penghargaan sebagai raja kecil dari Tuhan[1]. Sedangkan Clinton McCann lebih melihat Mazmur 8 sebagai sebuah bentuk doa (ucapan syukur), lebih dari sekadar nyanyian pujian, yang menekankan bukan hanya keagungan Tuhan tetapi juga status manusia yang dimuliakan oleh Allah[2]. Ada dua tokoh utama yang mendapat perhatian dalam Mazmur ini, yaitu Tuhan sebagai Pencipta, dan manusia, yang dibuat segambar dan serupa seperti Allah dan telah dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat. Namun figur yang utama dan terutama di sini adalah Sang Pencipta itu sendiri yang hendak dimuliakan melalui Mazmur ini. Kesamaan bagian pembuka dan penutup dari Mazmur ini memperlihatkan bahwa yang ingin ditonjolkan di sini adalah “Allah yang Agung‟ yang keagungannya itu nyata melalui karyanya, khususnya melalui manusia.

Sementara itu manusia dalam Mazmur ini menjadi figur yang menyadari bahwa kemuliaan dan hormat yang dimilikinya hanya merupakan sebuah anugerah dari Sang pencipta. Karena itu kemuliaan dan kehormatan manusia tidak bisa disetarakan dengan keagungan dan kemuliaan Sang Pencipta. Dengan demikian pemahaman terhadap Mazmur ini jangan sampai memindahkan fokus dari Sang Pencipta kepada manusia. Catatan ini mengingat pembacaan sepintas terhadap Mazmur 8:6-9 akan memberi kesan bahwa fokusnya adalah pada manusia dengan segala keistimewaannya sebagai ciptaan Allah (Mazmur 8:6). Pemahaman dalam mazmur pasal ke-8 ini merupakan sebuah upaya khususnya ayat 6-9, dari sisi hubungan dan tanggung jawab manusia kepada ciptaan. Kuasa merupakan salah satu istilah yang menonjol dalam Mazmur ini dan sering dimengerti lebih sebagai dominasi manusia atas ciptaan. Karena itu kuasa ini diwujudkan dalam praktiknya, terutama ketika dihubungkan dengan persoalan-persoalan lingkungan yang dihadapi manusia saat ini. Persoalan pemanasan global, Tragedy of commons yang dihadapi dunia saat ini memang seharusnya mendorong manusia untuk menginterpretasi kembali bagaimana dia berelasi dengan alam.

Posisi dari Allah bukan hanya menyelamatkan diri dari manusia, bahkan Dia memahkotai (dalam teks Bahasa Indonesia, dari bahasa ibrani dengan akar kata “atarah” = mahkota) manusia dengan kemuliaan dan hormat (ayat 5), yang mana tindakan ini menunjuk kepada sebuah posisi penting yang dimiliki manusia. Tetapi dalam tradisi kerajaan, pemberian mahkota bukan hanya menunjuk kepada sebuah kedudukan penting dari penerima mahkota, tetapi juga tanggung jawab yang harus dilakukan oleh sang penerima mahkota. Seseorang yang dimahkotai tidak berarti bahwa dia bisa bertindak sesuka hatinya. Sebaliknya dia harus bertindak sesuai dengan kehendak Allah agar kemuliaan dan kehormatan yang diterimanya terpancar jelas melalui karyanya. Saul yang dimahkotai sebagai raja pada akhirnya ditolak karena dia tidak melakukan apa yang diperintahkan Tuhan kepadanya (1 Samuel 15:1-35). Daud yang dimahkotai sebagai raja juga dihukum oleh Allah karena melakukan yang jahat kepada hambanya, Uria (2 Samuel 11:1- 12:25). Ini menunjukkan bahwa manusia yang dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat oleh Allah bukan saja menerima sebuah posisi penting tetapi juga tanggung jawab penting untuk selalu melakukan apa yang dikehendaki Allah kepadanya. Itu artinya bahwa sepanjang hidupnya manusia yang dimahkotai harus mampu memperlihatkan Allah yang memahkotainya. Jika ayat ini secara khusus dihubungkan dengan Daud, dimana dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat menunjuk kepada pengangkatan Daud sebagai raja, maka kisah kehidupan Daud dalam Alkitab menunjukkan bagaimana Daud berusaha untuk hidup selalu berkenan kepada Tuhan. Ada masa dimana Daud melakukan kesalahan (lih. 2 Samuel 11:1- 27) tetapi selalu ada upaya dari Daud untuk menyadari kesalahannya dan kembali hidup berkenan di hadapan Tuhan (lih. 2 Samuel 12:1-25) artinya, manusia juga harus menyadari dan ikut dalam pemulihan alam karena manusia adalah ciptaan yang “khas” dari Allah dan menerima mandat khusus untuk itu.

Kita harus menghindari diri dari membaca Mazmur 8 dengan pendekatanpendekatan pemahaman yang cenderung menonjolkan martabat manusia sebagai yang lebih tinggi dari yang lain dan menganggap ciptaan yang lain sebagai rendah martabatnya dari manusia dan karena itu manusia tidak perlu menjaga sikapnya terhadap ciptaan yang lain. Manusia tetaplah manusia, bukan Allah, karena kuasa yang dimilikinya tetaplah terbatas. Sekalipun dalam ayat 6 dikatakan bahwa: “Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya”, namun kuasa itu terbatas hanya terbatas pada binatang (ayat 7-8), bukan pada seluruh ciptaan Allah. Ayat ini sekaligus memperlihatkan perbedaan dan persamaan antar Mazmur 8 dengan Kejadian 2:15- 16 berkaitan dengan pemberian kuasa atau mandat. Persamaannya adalah bahwa kuasa atau mandat yang diterimanya sama-sama terbatas, bukan kepada seluruh ciptaan. Perbedaannya adalah Mazmur memberi penekanan pada kuasa (Ibrani: tamshilehu (dari akar kata mashal), menunjuk kepada sebuah otoritas yang berwujud dalam situasi memerintah, mengontrol), sedangkan Kejadian memberi penekanan pada mengusahakan dan memelihara (Ibrani: le'avedah - dari akar kata abad – yang bukan hanya menunjuk tindakan kultivasi (bercocok tanam) tetapi juga menunjuk kepada sikap sebagai seorang pelayan; dan uleshamerah - dari akar kata shamar - yang menunjuk kepada tindakan menunggui, menjaga, melindungi, memberi perhatian, merawat). Perbedaan yang lain adalah mazmur membatasi kuasa itu pada binatang sedangkan Kejadian membatasinya pada tanaman atau taman.

Jadi baik Mazmur 8 maupun Kejadian 2 sama-sama memperlihatkan bahwa kuasa yang ada dimiliki manusia terbatas. Berkaitan dengan penyebutan “kaki” dalam ayat 6, menurut saya, istilah ini lebih tepat menyimbolkan kuasa atau kontrol, daripada diartikan sebagai penaklukan. Frase “di bawah kakinya” tidak bisa hanya diterjemahkan semata-mata sebagai dominasi manusia atas binatang. Dalam realitas kehidupan, manusia juga sering takluk kepada binatang, bahkan juga bisa menjadi korban binatang. Lagi pula binatang-binatang yang disebutkan dalam ayat 7-8 menunjuk kepada binatang-binatang yang dibutuhkan manusia di dalam hidupnya. Karena itu frase ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kuasa atas binatang-binatang tersebut untuk melindungi dan mengelola mereka demi kebaikan hidup manusia. Gambaran ini juga memperlihatkan suatu era di mana binatang mempunyai tempat penting dalam kehidupan manusia. Mungkin kita juga setuju dengan apa yang dikemukakan oleh Othmar Kiel, bahwa pemberian kuasa dalam Mazmur 8:6 tidak harus diartikan sebagai keinginan sesuka hati menaklukkan binatang-binatang tersebut. Mazmur 8:6-8 ini harus lebih diartikan sebagai tugas manusia untuk melindungi binatang-binatang ternak atau yang hidup di sekitarnya (domestic animals).

Sebagai pandangan teologis yang dihubungkan dengan minggu Trinitas, saya mengangkatkan teologi dari Han Von Urs Balthasar yang mana ia seorang teolog terkemuka pada zamannya. Pengalaman iman akan kehadiran Allah telah menghantarnya pada sebuah kontemplasi ilahi. Kehadiran Allah di dunia melalui Yesus Kristus, adalah perwujudan kemuliaan Allah bagi manusia. Inilah sebuah estetika teologis sebagaimana yang dimaksud Balthasar. Untuk sampai kepada pemahaman tersebut, menurut Balthasar, manusia harus senantiasa mengkontemplasikan dirinya agar ia mampu sampai pada pemahaman yang mendalam akan karya Tuhan bagi dunia dan manusia. Hans von Balthasar mendekati misteri Trinitas pada dua sudut pandang, yakni sudut monopersonal[3] dan sosial[4]. Menurut Balthasar makna “pribadi” dalam pernyataan bahwa Allah itu satu pribadi, harus berbeda artinya dalam kalimat bahwa Ia tiga pribadi.

Menurut Balthasar, ketika Allah menyatakan diri, Allah menyatakan kebenaran- kebenaran-Nya kepada manusia. Dalam pernyataan diri Allah kepada manusia ini, Allah tidaklah menyatakan kebenaran- kebenaran-Nya yang melampaui roh manusia. Oleh sebab itu, keindahan (estetika) teologis dipahami oleh Balthasar sebagai pewahyuan Allah kepada manusia lewat Putera-Nya, dan melalui rahmat Roh Kudus, manusia dimampukan untuk menerima karunia Roh tersebut di dalam dirinya, sehingga ia mampu melihat gambaran alam sebagai ekspresi dari Imajinasi Ilahi yang melibatkan diri secara penuh di dalamnya.[5] Dengan demikian, di dalam semuanya ini, kita bisa menemukan yang baik, yang benar, dan yang indah sebagai yang berasal dari Allah sendiri sehingga kemualiaan Allah nyata di seluruh dunia.

Namun menurutnya, jika teologi mengabaikan status transendental dari keindahan, maka teologi tidak lagi menganggap dunia sebagai wilayah di mana roh ilahi sedang bekerja. Dengan demikian manusia dan alam semesta akan kehilangan statusnya sebagai ciptaan dan kehilangan kemuliaan karena tidak ada lagi yang dapat menjelaskan dari mana manusia berasal. Oleh sebab itu, lewat estetika keindahannya ini, Balthasar mengajak kita semua untuk memaknai hidup kita di dunia ini dalam kaca mata transendental sehingga pemahaman ini mampu menghantar kita pada pemahaman yang ilahi akan kehadiran kita di dunia. Alam ciptaan memberikan gambaran kepada kita betapa agung dan ilahinya Pencipta, Sang Maha dari segala yang ada di dunia ini. Dengan demikian, kita mampu memaknai hidup kita dalam hubungannya dengan dunia, sesama, dan alam semesta.

3. Aplikasi

Mengubah paradigma “menguasai” kepada “melindungi” dalam relasi manusia dengan ciptaan yang lain adalah cara tepat dalam mewujudkan kebaikan hidup bagi manusia dan juga ciptaan yang lain. Dengan perubahan paradigm ini, lebih memusatkan kita sebagai manusia ciptaan allah sebagai “Alat” untuk kemuliaan Tuhan. Bagi gereja, ini hanya bisa terwujud jika orientasi pelayanan gereja terutama dalam menggunakan kuasa yang dimilikinya tidak hanya ke dalam atau untuk kepentingan gereja sendiri tetapi juga untuk kepentingan yang lain, termasuk alam dan lingkungan. GBKP sudah sangat tepat mengusung tema tahun 2022 yaitu; Kreatif merawat lingkungan, karena manusia saat ini sering diperhadapkan dengan bencana alam yang juga disebabkan oleh kesalahan manusia dalam menggunakan kuasa yang dimilikinya, seperti Ekspolitasi alam secara berlebih dan juga banjir yang disebabkan oleh penebangan hutan oleh para pemilik HPH. Karena itu tanggung jawab gereja untuk selalu mengingatkan manusia untuk tidak hanya mengartikan kuasa yang dimilikinya sebagai dominasi atas alam dan lingkungan tetapi juga untuk merawatnya. Gereja harus lebih banyak membuat program-program yang bertujuan merawat dan melestarikan alam dan lingkungannya, terutama gereja yang masyarakatnya sering berhadapan dengan bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lainnya. Marilah kita menjadikan seluruh ciptaan Allah menjadi bagian untuk menyatakan kemuliaan Allah.

 

Pdt. Anton Keliat - Runggun Semarang

 

[1] Marie Claire Barth dan B. A. Pareira, Kitab Mazmur 1-72. Pembimbing dan Tafsirannya. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 170, 174-175

[2] J. Clinton McCann Jr. Great Psalms of the Bible. Louisville, (Kentucky: Westminster John Knox Press, 2009), h. 17-18.

[3] Paham Trinitarisme monopersonal (Karl Rahner dan Karl Barth) mengatakan bahwa tiga persona (yang diterjemahkan pribadi) dalam Tradisi Gereja tidak sama artinya dengan tiga Pribadi atau diri dalam arti modern karena pemahaman pribadi dalam arti modern (person, ing.) cenderung jatuh pada paham Triteisme. Menurut paham ini, Allah Tritunggal tidak dapat berdiri dari tiga pribadi atau tiga subjek. Allah hanya mempunyai Satu; Aku bukan tiga, satu kehendak, satu wajah, satu sabda, dan satu karya. Allah itu satu pribadi dalam tiga cara berada. Cara berada yang rangkap tiga itu, berkaitan erat dengan pewahyuan dan “keterwahyuan”. Teolog yang menganut paham ini adalah Karl Barth dan Karl Rahner. (Dr. Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika I, Yokyakarta:Kanisius, 2004, hlm., 165-169).

[4] Manurut paham Jurgen Moltman dan Wolfhart Panenberg, sejarah Trinitas merupakan sejarah tiga Subjek dalam hubungan persekutuan satu sama lain. Moltman berbicara terang-terangan tentang tiga Subyek yang secara intim dan intensif berhubungan. Wolfhard Penenberg mengatakan bahwa Bapa, Putera, dan Roh Kudus digambarkan sebagai tiga penampakan dari satu medan dan kekuatan yang diidentifikasi sebagai cinta kasih. (ibid.)

[5] http://www.wordtrade.com/religion/christianity/Balthasar, loc.cit. (pernyataan ini tidak memaksudkan bahwa manusia adalah objek yang pasif-reseptif dalam menerima karunia Roh).

Info Kontak

GBKP Klasis Bekasi - Denpasar
Jl. Jatiwaringin raya No. 45/88
Pondok Gede - Bekasi
Indonesia

Phone:
(021-9898xxxxx)

Mediate

GBKP-KBD