MINGGU 08 DESEMBER 2024, KHOTBAH WAHYU 3:1-6

Invocation  :

Demikianlah Yohanes Pembabtis tampil di padang gurun dan menyerukan: “Bertobatlah dan berilah dirimu dibabtis dan Allah akan mengampuni dosamu.”

(Markus 1:4)

Ogen  :

Jesaya 35:1-10

Tema  :

Bertobat dan Berjaga-jagalah/Jera Dingen Tetap Erjaga-jaga

 

Pengantar

Minggu adven II merupakan minggu yang mendorong kita untuk membuka lembaran baru dalam kehidupan kita. Dorongan ini tercermin melalui seruan Yohanes Pembabtis seperti yang tertulis dalam Matius 1:4 (invocatio). Dalam pengertian yang lebih mendalam, seruan pertobatan juga membuka pikiran-pikiran kita yang mengekang batin dan membiarkan diri untuk dibawa dan diarahkan oleh kekuatan Ilahi. Gagasan pertobatan yang diserukan bukan hanya dipahami seperti pandangan sehari-hari yaitu meninggalkan dosa atau berbuat kesalahan. Tetapi, lebih dalam membiarkan diri dipimpin oleh Tuhan untuk tidak gelisah dalam menghadapi kehidupan. Hati kita dihibur dan ditenangkan oleh kuasa Allah yang Maha Tahu dan Maha Hadir.

Pendalaman Teks

Kitab Wahyu ini menyatakan bahwa penulisnya adalah Yohanes hamba Allah (1:1, 4, 9). Dan jika diperhatikan pasal 1:1 secara keseluruhan, tampaknya Allah sendirilah yang menjadi pengarang utama kitab ini dan dinyatakan kepada Yohanes untuk menuliskannya ke dalam bahasa manusia. Sama halnya seperti Paulus ketika menuliskan surat kepada jemaat, juga memperkenalkan dirinya sebagai orang yang memperoleh wahyu dari Allah (band. 1 Kor 4:1).

Di dalam kitab Perjanjian Baru, kitab Wahyu merupakan jenis kitab Apokaliptik. Arti apokaliptik sendiri adalah membukakan/menyingkapkan atau dalam bahasa yang lain dapat dikatakan sebagai kitab yang membukakan rahasia Allah. Jika kita melihat pembagian jenis-jenis kitab, jenis kitab apokaliptik disimpulkan sebagai kitab penghiburan ataupun kitab pengharapan karena melalui kitab ini akan membuka rahasia Allah atas realita yang dialami oleh orang percaya. Jika dibandingkan dengan Perjanjian Lama, yang dikategorikan dengan kitab apokaliptik adalah kitab Daniel. Para ahli menyimpulkan bahwa jenis kitab Wahyu dan Daniel muncul ketika umat mengalami situasi yang hampir putus asa khususnya dengan situasi sosial dan politik. Orang percaya pada masa itu merasakan penganiayaan yang cukup besar. Berdasarkan isu penganiayaan yang muncul dalam kitab ini, umumnya ada dua pendapat tentang pada era siapa penganiayaan tersebut terjadi, yakni era Kaisar Nero (sekitar tahun 54-68) dan era Kaisar Domitian (sekitar tahun 81-96). Ada indikasi bahwa jemaat penerima surat ini bukan merupakan generasi pertama. Maka tampaknya lebih condong kita menyimpulkan penganiayaan yang terjadi pada saat itu adalah pada masa kekaisaran Domitian. Di mana menurut catatan Sejarah bahwa di tahun 95, yang merupakan akhir dari masa jabatan kaisar Domitian banyak terjadi gelombang penganiayaan kepada orang-orang percaya. Penyembahan kepada kaisar adalah salah satu alasan yang kuat bagi tindakan penganiayaan. Dan melalui pasal 2:2, 14, kita menemukan bahwa gereja juga disusahkan oleh banyaknya guru dan ajaran sesat.

Situasi yang sulit dan menyakitkan tersebut, penulis surat ini merasa sangat berkepentingan untuk menanggapinya karena situasi ketertekanan dan lahirnya ajaran-ajaran sesat telah mempengaruhi beberapa orang percaya pada masa itu. Maka dapat disimpulkan bahwa kitab ini adalah sebuah penguatan/penghiburan sekaligus juga sebagai peringatan untuk antisipasi. Melalui 3 pasal pertama dalam kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini ditujukan secara spesifik kepada tujuh jemaat yang ada di wilayah propinsi Asia (Efesus, Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis, Filadelpia dan Laodikia). Ketujuh jemaat ini merupakan perwakilan dari seluruh umat Kristen yang ada pada saat itu. Salah satu alasan memilih ketujuh kota ini karena ketujuh kota ini juga merupakan kota pusat informasi. Ketika kita membaca kitab ini yang ditujukan kepada 7 kota yang ada, kita menemukan seruan utamanya adalah tentang pertobatan, kesetiaan dan kehati-hatian/antisipasi. Jika kita berbicara tentang pertobatan, pikiran kita adalah kembali kepada Tuhan atau kembali ke jalan Tuhan.

Kepada jemaat di Sardis mencerminkan sifat Tuhan sebagai Maha tahu. Sebagai Tuhan yang Maha tahu, Dia dapat melihat situasi orang percaya pada saat itu:

  1. Tuhan mengetahui situasi mereka pada saat itu dengan memberikan analogi hidup tapi mati, yang artinya adalah secara kedagingan masih hidup tetapi hati/jiwa mati dengan bahasa yang lain pengharapan yang meredup (1).
  2. Mereka masih memiliki sisa keyakinan dan pengharapan kepada Tuhan (2).
  3. Mereka masih mengingat pengajaran-pengajaran tentang kebenaran Allah (3).

Situasi mereka yang digambarkan kepada kita memberikan informasi bahwa kehidupan orang percaya pada masa itu sudah ada yang meninggalkan keimanannya karena situasi tekanan dan pengajaran yang sesat. Sikap kerohanian orang percaya pada masa itu juga sudah tidak mencerminkan kehormatan kepada Allah. Perubahan sikap dalam kerohanian dan keseharian ini sangat mungkin disebabkan oleh gelombang penganiayaan serta ajaran sesat yang sedang mereka hadapi. Namun demikian, ada juga dari mereka yang masih mempertahankan keyakinannya dengan tidak mencemarkan pakaiannya. Penggunaan kata pakaiaan merupakan analogi sebuah pertobatan seperti yang selalu diungkapkan juga oleh Paulus dalam surat-suratnya. Pakaian lama adalah hidup dalam dosa dan pakaian baru adalah kehidupan yang baru dan benar di mata Tuhan (band. Ef 4:22-24; Kol 3:5-17 dll).

Penulis kitab Wahyu juga menjelaskan peringatan Allah bahwa orang yang mempertahankan pakaian yang putih (tetap dalam kebenaran) akan tetap mendapatkan perjanjian keselamatan (5) dan Yesus adalah sebagai jaminan keselamatan itu. Untuk mempertahankan perjanjian itu tentu membutuhkan mental kesetiaan iman dan hikmat untuk tidak dipengaruhi oleh pengajaran yang salah.

Aplikasi

Bertobat dan berjaga-jagalah yang menjadi tema di minggu advent II ini mengajak kita untuk kembali kepada Allah dan tetap menjaga hati dan sikap dalam menghadapi tantangan-tantangan yang menghampiri kehidupan kita. Setiap kita manusia pasti pernah mengalami rasa takut, sedih, gelisah, marah dan putus asa. Di sisi yang lain, kita juga ditawarkan oleh dunia ini akan kenikmatan-kenikmatan atau solusi yang dapat menyesatkan. Sehingga kehidupan kita akan selalu berada di sekeliling ketakutan dan kegelisahan dunia.

Di dalam pembacaan I, nabi Yesaya berseru bahwa Tuhanlah yang mampu mengubah situasi kehidupan umatNya. Tuhanlah yang mampu menghibur umatNya dari kegelisahan dan ketakutan dunia. Khusus di Yesaya 35:2 dikatakan “seperti bunga mawar ia akan berbunga lebat, akan bersorak-sorak, ya bersorak-sorak dan bersorak-sorai. Kemuliaan Libanon akan diberikan kepadanya, semarak Karmel dan Saron; mereka itu akan melihat kemuliaan Tuhan, semarak Allah kita.” Kita memandang yang tertuang dalam kitab Yesaya ini, bahwa Tuhan akan mengubah kegelisahan, ketakutan, rasa marah ke dalam situasi kedamaian, ketenangan. Kita akan bersorak-sorai dalam kedamaian dan kuat dalam tantangan (1-6). Tuhan akan mengubah rasa dukacita menjadi sukacita (7-10). Maka marilah kita tetap mengarahkan hati dan pikiran kepada Tuhan. Karena Tuhan memiliki rahasi yang begitu indah di dalam semua yang kita alami.

Pdt. Irwanta Tarigan, S.Th

GBKP Rg. Banjarmasin

MINGGU 24 NOVEMBER 2024, KHOTBAH PENGKHOTBAH 7:1-8

Incovation :

Jikalau hari-harinya sudah pasti, dan jumlah bulannya sudah tentu pada Mu, dan batas-batasnya sudah Kautetapkan, sehingga tidak dapat dilangkahinya, (Ayub 14 : 5)

Ogen :

Yohanes 14 : 27-31

Tema :

Tetap Mehuli Seh Pendungi/Tetap melakukan kebaikan Sampai Akhir

 

Pendahuluan

Bayangkan hidup kita sebagai sebuah buku yang setiap halamannya menggambarkan perjalanan hidup kita. Setiap babnya mewakili fase-fase yang kita lalui—masa muda yang penuh semangat, masa dewasa yang penuh tantangan, dan akhirnya, masa tua yang penuh refleksi. Di setiap halaman, kita dihadapkan pada pilihan: menulis kisah yang penuh dengan kebaikan dan kasih, atau sebaliknya. Namun, yang terpenting bukanlah bagaimana kita memulai cerita ini, tetapi bagaimana kita mengakhirinya. Akhir dari buku kehidupan kita akan menentukan bagaimana kita dikenang oleh sesama dan, lebih dari itu, bagaimana kita dinilai oleh Tuhan.

Isi

Invocatio yang diambil dari kitab Ayub 14:5 mengingatkan kita bahwa waktu kita di dunia ini sangat terbatas: "Jikalau hari-harinya sudah pasti, jumlah bulan-bulannya sudah diketahui oleh-Mu, dan batas-batasnya sudah Kautentukan, sehingga ia tidak dapat melampauinya." Ini adalah pengingat yang kuat bahwa setiap hari yang kita miliki adalah anugerah dari Tuhan. Seperti sebuah jam pasir, waktu kita terus mengalir, tidak bisa dihentikan atau diulang. Kesadaran akan keterbatasan waktu ini seharusnya mendorong kita untuk hidup dengan tujuan yang jelas dan memanfaatkan setiap momen untuk melakukan kebaikan. Teks ini secara eksplisit menyebutkan bahwa hari-hari manusia telah "pasti," bulan-bulannya telah "diketahui" oleh Tuhan, dan "batas-batasnya sudah Kautentukan." Ungkapan-ungkapan ini menunjukkan konsep kedaulatan Tuhan atas kehidupan manusia, yang dalam konteks kitab Ayub, mempertegas keyakinan akan kedaulatan dan pengetahuan Tuhan yang melampaui pemahaman manusia. Ayub, yang mengalami penderitaan yang mendalam, menyadari bahwa hidupnya berada sepenuhnya dalam kendali Tuhan, termasuk panjang dan kualitas hidupnya. Ayat ini juga mengandung unsur teologis penting tentang ketidakterbatasan pengetahuan Tuhan, yang mengetahui "jumlah bulan-bulan" manusia dan telah menetapkan batas-batasnya, sebuah konsep yang mencerminkan atribut Allah yang mahatahu dan mahakuasa.

Dari segi tekstual, ayat ini merupakan bagian dari dialog Ayub dalam upayanya memahami penderitaan dan realitas kehidupan manusia yang fana. Ayub mengekspresikan ketidakberdayaan manusia di hadapan kebesaran dan ketetapan Tuhan. Dalam konteks sastra hikmat, teks ini menekankan aspek temporer kehidupan manusia dan kerapuhan eksistensi manusiawi. Ayat ini secara simbolis menyuarakan realitas kematian dan keterbatasan hidup manusia yang tak dapat dihindari, sebuah tema yang konsisten dalam kitab Ayub dan dalam literatur hikmat lainnya seperti Pengkhotbah. Selain itu, penggambaran ini berfungsi untuk menempatkan manusia pada posisi kerendahan hati di hadapan Tuhan. Dengan mengetahui bahwa Tuhan telah menetapkan batas waktu hidup kita, manusia diundang untuk menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan, menerima kenyataan bahwa hidup dan mati adalah dalam kendali-Nya. Kesadaran ini seharusnya menuntun manusia untuk hidup dengan makna dan tujuan, tidak menyia-nyiakan waktu yang diberikan, dan berfokus pada hal-hal yang bernilai kekal, seperti kasih, keadilan, dan hubungan yang benar dengan Tuhan dan sesama.

Sering kali, kita jatuh ke dalam perangkap menunda-nunda perbuatan baik, berpikir bahwa masih ada banyak waktu di depan kita. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa kita masih memiliki waktu itu? Seperti seorang pemuda yang baru menyadari bahwa baterai hidupnya hampir habis, kita juga harus menyadari bahwa kita tidak bisa terus menunda. Waktu kita terbatas, dan setiap hari adalah kesempatan baru untuk menulis bab yang lebih baik dalam buku kehidupan kita.

Dalam bacaan Yohanes 14:27-31, Yesus memberikan janji damai sejahtera-Nya kepada para murid sebelum Dia pergi untuk disalibkan: "Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan dunia kepadamu." Damai sejahtera ini adalah sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh dunia, sebuah kedamaian yang melampaui keadaan duniawi. Yesus tahu bahwa para murid-Nya akan menghadapi banyak tantangan setelah kepergian-Nya, namun Dia ingin mereka tahu bahwa mereka tidak perlu takut. Damai sejahtera dari Kristus adalah fondasi yang kokoh, yang memungkinkan kita untuk tetap melakukan kebaikan meskipun dunia di sekitar kita penuh dengan kekacauan dan ketidakpastian.

Teks khotbah diambil dari kitab Pengkhotbah 7:1-8. Kitab Pengkhotbah dikenal sebagai salah satu kitab kebijaksanaan dalam Perjanjian Lama yang sering kali mencerminkan pandangan pesimistis terhadap kehidupan, namun juga menawarkan hikmat praktis untuk hidup yang bermakna. Penulisnya, yang sering disebut sebagai "Pengkhotbah" atau "Qohelet," dianggap sebagai figur bijak yang merenungkan arti kehidupan, keberadaan manusia, dan kekuatan kebijaksanaan dibandingkan dengan kesia-siaan duniawi. Ayat-ayat dalam Pengkhotbah 7:1-8 merupakan bagian dari nasihat hikmat yang kontras dengan nilai-nilai duniawi. Teks ini menggunakan struktur yang mengontraskan antara hal-hal yang terlihat baik di permukaan dengan hal-hal yang lebih baik dalam hikmat Tuhan. Misalnya, "nama yang baik" dibandingkan dengan "minyak yang mahal" (ay. 1) dan "hari kematian" dibandingkan dengan "hari kelahiran." Tema kematian dan penderitaan di dalam pasal ini menekankan keseriusan hidup dan mengarahkan pembaca untuk mencari kebijaksanaan yang melebihi kesenangan sementara. Dalam konteks budaya Israel kuno, nama baik (reputasi) sangat dihargai, lebih dari kekayaan material. Minyak mahal adalah simbol status, namun nama baik menunjukkan integritas moral yang lebih berharga. Pandangan tentang hari kematian yang lebih baik daripada hari kelahiran mungkin terkait dengan keyakinan tentang ketenangan setelah kehidupan yang penuh tantangan di dunia ini.

Ayat 1: "Nama yang baik lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran." Di sini, kita melihat kontras antara reputasi atau integritas moral (nama yang baik) dan kemewahan material (minyak yang mahal). Hari kematian dianggap lebih baik karena mengakhiri penderitaan dunia dan menuntun pada perenungan kehidupan dan maknanya.

Ayat 2-4: Menekankan nilai refleksi dan introspeksi yang seringkali diilhami oleh kesedihan dan dukacita. Rumah perkabungan lebih baik daripada rumah pesta karena itu memicu pemikiran serius tentang kehidupan. Kesedihan dianggap lebih baik daripada tawa karena menghasilkan hati yang murni.

Ayat 5-6: Hikmat lebih baik daripada kebodohan. Mendengar teguran orang bijak lebih baik daripada mendengar nyanyian orang bodoh. Ini menekankan bahwa pembelajaran dari kritik dan teguran bijak lebih bermanfaat daripada mencari hiburan tanpa arti.

Ayat 7-8: Ayat-ayat ini berbicara tentang dampak dari tekanan dan penyuapan yang dapat menghancurkan kebijaksanaan seseorang. Sabar lebih baik daripada sombong, dan akhir sesuatu lebih baik daripada permulaannya, menunjukkan pentingnya ketekunan dan ketahanan.

Bayangkan kita sedang mengalami hari yang sangat berat, di mana segala sesuatu tampak salah. Namun, di tengah kekacauan itu, kita merasakan ketenangan yang tak bisa dijelaskan. Itulah damai sejahtera dari Kristus, yang memberi kita kekuatan untuk terus berbuat baik di tengah badai kehidupan. Damai ini bukan berarti kita bebas dari masalah, tetapi merupakan jaminan bahwa Tuhan bersama kita dalam menghadapi setiap tantangan. Dengan damai ini, kita dapat terus melakukan kebaikan, meski keadaan di sekitar kita tidak ideal.

Pengkhotbah 7:1-8 mengajarkan kita bahwa akhir suatu hal lebih baik daripada awalnya: "Akhir suatu hal lebih baik daripada awalnya." Dalam hidup ini, kita sering kali terlalu fokus pada bagaimana kita memulai sesuatu, namun Firman Tuhan mengajarkan bahwa yang paling penting adalah bagaimana kita mengakhirinya. Hidup kita bagaikan sebuah film; yang diingat orang bukanlah bagaimana film itu dimulai, tetapi bagaimana ia berakhir. Kita ingin akhir hidup kita menjadi sesuatu yang dikenang dengan baik—sebuah akhir yang penuh kebaikan dan iman yang teguh.

Pernahkah Anda membeli sepatu baru? Hari pertama mengenakannya, rasanya luar biasa—nyaman, modis, dan membuat kita merasa percaya diri. Namun, setelah beberapa minggu, mungkin ada bagian yang mulai menggosok kulit kita, dan kita tergoda untuk kembali mengenakan sepatu lama yang lebih nyaman. Begitu juga dengan kebaikan. Pada awalnya, kita mungkin bersemangat untuk melakukan kebaikan, tetapi ketika tantangan datang, kita mudah tergoda untuk kembali ke cara hidup lama yang lebih nyaman. Sepatu lama mungkin nyaman, tetapi sepatu baru yang sedang kita sesuaikan adalah jalan menuju pertumbuhan dan kesempurnaan. Seiring waktu, sepatu baru itu akan semakin nyaman dan membawa kita ke tempat yang lebih baik. Demikian pula, kebaikan yang kita lakukan mungkin terasa sulit pada awalnya, tetapi dengan ketekunan, kebaikan itu akan menjadi bagian dari diri kita.

Sering kali, tantangan terbesar dalam menjaga konsistensi bukanlah godaan besar, tetapi rutinitas sehari-hari. Rutinitas bisa menjadi medan pertempuran yang sulit karena kita terbiasa dengan monoton dan kehilangan kesadaran akan tujuan kita. Kita menjadi seperti mesin yang hanya berjalan otomatis, tanpa benar-benar menyadari mengapa kita melakukan sesuatu. Di sinilah pentingnya untuk selalu mengingat tujuan kita—yakni untuk memuliakan Tuhan dan membawa berkat bagi orang lain. Seperti yang dikatakan oleh C.S. Lewis, "Hari-hari kita sering kali seperti roda gigi yang berputar-putar, kita harus mengingatkan diri sendiri untuk menjaga mesin tetap berjalan dengan baik, bukan hanya dengan melakukan tugas-tugas rutin, tetapi dengan mengingat mengapa kita melakukannya."

Godaan untuk menyerah biasanya muncul ketika kita merasa usaha kita tidak dihargai atau tidak membuahkan hasil yang kita harapkan. Saat inilah kita perlu mengingat bahwa hasil dari setiap perbuatan baik tidak selalu terlihat segera. Ada sebuah kisah tentang seorang tukang kebun yang dengan penuh dedikasi merawat kebunnya. Setiap hari dia menyirami tanaman, memberi pupuk, dan membersihkan gulma. Namun, bertahun-tahun berlalu tanpa ada bunga yang bermekaran. Suatu hari, saat dia hampir putus asa dan berpikir untuk berhenti, dia melihat tunas kecil muncul dari tanah. Seminggu kemudian, bunga-bunga indah mulai bermekaran di seluruh kebun. Kisah ini mengingatkan kita bahwa hasil dari kebaikan yang kita tanam mungkin tidak segera terlihat. Namun, dengan kesabaran dan konsistensi, kita akan melihat bahwa usaha kita tidak pernah sia-sia. Tuhan bekerja dengan cara yang tidak selalu kita pahami, dan tugas kita adalah tetap setia dalam melakukan bagian kita.

Penutup

Kehidupan ini adalah perjalanan yang harus kita selesaikan dengan baik. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk tetap setia dalam melakukan kebaikan hingga akhir hidup kita. Kesadaran akan keterbatasan waktu harus mendorong kita untuk hidup dengan tujuan yang jelas dan penuh makna. Damai sejahtera dari Kristus menjadi penghiburan dan kekuatan kita dalam menghadapi setiap tantangan, dan kita diingatkan bahwa akhir yang baik adalah yang paling penting. Mari kita terus berjalan dalam kebaikan, tidak hanya untuk dikenang oleh manusia, tetapi untuk menerima upah kekal dari Tuhan. Semoga hidup kita menjadi cerminan dari kasih Kristus, nama kita menjadi harum di hadapan Tuhan dan sesama, dan warisan kita adalah tindakan kebaikan yang membawa berkat bagi banyak orang. Tetaplah melakukan kebaikan sampai akhir, karena itulah yang Tuhan kehendaki dari hidup kita. Dalam setiap bab yang kita tulis dalam buku kehidupan kita, kiranya setiap halaman dipenuhi dengan kebaikan, kasih, dan iman yang teguh hingga akhir.

MINGGU 17 NOVEMBER 2024, KHOTBAH ULANGAN 12:25-28

Invocatio :

Mazmur 103: 17 “Tetapi Kasih setia Tuhan dari selama lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia, dan keadilanNya bagi anak cucu,”

Bacaan     :

Lukas 2:41-51

THEMA :

KELUARGA YANG SETIA MENYEMBAH KEPADA TUHAN

 

Minggu ini kita rayakan sebagai Minggu Keluarga. Keluarga adalah berkat terbesar kedua setelah penebusan Tuhan memberkati kita di dalam dan melalui keluarga. Keluarga juga arena peperangan rohani pelbagai serangan cobaan, konflik dan luka akan kita rasakan di dalam lembaga ini. Membangun fondasi yang kuat di dalam keluarga merupakan tanggungjawab bersama suami dan istri. Bagaimana membangun ulang visi orangtua dan membangun ulang kesetiaan dalam menyembah Tuhan? Melalui perikop kita kali ini, kita akan membahasnya lebih dalam.

Ulangan 12:25-28

Sebuah perintah Tuhan yang disampaikan oleh Musa bagi bangsa Israel. Ketetapan dan peraturan yang diperdengarkan supaya dapat dipelajari dan dilakukan oleh bangsa ini dengan setia. Dan ketetapan peraturan ini juga dapat diajarkan kepada seluruh keluarga dan anak cucu kaum Israel kemana pun dan bagaimana pun keadaan mereka di tanah yang Tuhan berikan kepada mereka. Bagaimana tugas mereka memusnahkan tempat-tempat ibadah yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak menyembah kepada Tuhan. Seperti penyembahan di gunung-gunung tinggi, bukit-bukit dan dibawah pohon-pohon yang rimbun. Kaum Israel haruslah melakukan penyembahan yang benar menurut Tuhan. Ada beberapa aturan dalam melakukan penyembahan dan memberikan persembahan kepada Tuhan yakni:

  1. Kaum Israel haruslah memberi persembahan ternak mereka yang terbaik seperti sapi dan kambing domba. Namun daging sapi dan daging kambing domba ini boleh dimakan oleh mereka, tetapi darahnya tidak boleh diminum. Karena darah itu merupakan nyawa yang harus dicurahkan kembali ke bumi seperti air. Dengan tidak mengkonsumsi darah tersebut, maka dipercaya bahwa umat Israel akan mengalami kebaikan bersama dengan anak cucunya. Karena telah melakukan yang benar di mata Tuhan. Artinya bahwa menyembah Tuhan merupakan perintah Tuhan dan yang wajib dilakukan oleh setiap umat yang percaya. Ada kesadaran bahwa menyembah Tuhan itu adalah keharusan bagi umat Tuhan, jika itu tidak dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh, maka setiap umat tidak dapat merasakan kebaikan Tuhan dalam hidupnya (ayat 25). Dan ketika itu dilakukan secara konsisten maka sampai kepada anak cucu mereka akan mendapatkan kebaikan Tuhan Sehingga setiap orang yang menyadari bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah diselamatkan maka mereka pasti akan menyembah Tuhan dalam hidupnya. Karena hakekat hidup orang yang sudah diselamatkan adalah mengucap syukur.
  1. Persembahan kudus dan korban nazar haruslah ke tempat yang dipilih oleh Tuhan. Artinya dalam menyembah Tuhan tidak cukup dilakukan hanya sebagai sebuah rutinitas biasa saja, tetapi merupakan beberapa bagian aturan yang tidak dapat dipisahkan dengan cara menyembah Tuhan dalam Roh dan kebenaran. Mempersembahkan korban kepada Tuhan haruslah sesuai dengan yang Tuhan inginkan dalam hal ini dimaksudkan ialah tempat yang dipilih oleh Tuhan. Artinya seluruh persembahan itu berdasarkan kehendak Tuhan, tempat yang dipilih oleh Tuhan, setiap orang yang membawa persembahan ini tentulah mengikuti aturan yang Tuhan inginkan. Menyingkirkan keegoisan diri sendiri, kemauan sendiri, tetapi lebih kepada kerendahan hati mengikuti kehendah Tuhan.
  1. Terlebih dahulu mengolah korban bakaran tersebut, daging dan darahnya. Daging dan darahnya itu haruslah dipersembahkan di atas mezbah Tuhan dan darah korban sembelihan itu kemudian harus dicurahkan ke atas mezbah tersebut meskipun dagingnya boleh dimakan. Beberapa persiapan yang diperlukan dalam memberi persembahan kepada Tuhan. Dalam hal ini ada ketetapan yang harus mereka jalankan. Perintah tidak boleh mengkonsumsi darah ini sejatinya berkaitan dengan pemahaman bahwa darah adalah lambang dari kehidupan. Sehingga itu kembali harus dibawa dipersembahkan di mezbah Tuhan. Hanya Tuhan saja yang berkuasa menciptakan dan mengakhiri kehidupan. Dalam rangka menghormati kehidupan itulah, darah tidak boleh dikonsumsi. Prinsip yang mau diungkapkan dalam penyembahan ini adalah bagaimana penghargaan atas kehidupan dan keadilan. Sehingga memerlukan khikmat untuk mengaplikasikan prinsip ini dalam hidup sehari hari.
  1. Semua perintah ini berguna untuk kebaikan mereka sendiri sampai kepada anak-anak mereka yang kemudian untuk selama-lamanya apabila ini dilakukan dengan baik dan benar di mata Tuhan. Semua aturan ini harus mereka perhatikan dan lakukan dengan baik. Ini menjadi syarat untuk membuat orang Israel dan keturunannya dapat menjalani kehidupan mereka dengan baik dan benar.

Lukas 2:41-51

Kitab ini bercerita tentang kehidupan dan pelayanan Yesus. Khususnya tentang masa kecil Tuhan Yesus Kristus yaitu saat Tuhan Yesus berusia 12 tahun. Orangtua Yesus yang dengan setia membawa Yesus ke Yerusalen pada hari Raya Paskah. Dalam perjalanan pulang ke rumah, Yesus menghilang yang membuat Maria dan Yusuf merasa sangat khawatir. Maria dan Yusuf kembali ke Yerusalem dan mencari Yesus dan menemukanNya di Bait Allah. Perasaan cemas dan niat mereka mencari Yesus merupakan bentuk tanggungjawab mereka sebagai orangtua. Di dalam perikop ini juga menggambarkan sebuah kebersamaan keluarga yang ditampilkan oleh keluarga Yusuf antara lain saat Maria dan Yusuf bersama sama menempuh perjalanan ke Betlehem, lalu bersama sama mengungsi ke Mesir mencari Yesus ke Yerusalem, bahkan Maria hadir saat Yesus sampai disalibkan. Artinya Yusuf peduli penuh kasih sayang, dan Maria adalah ibu yang selalu hadir bagi anaknya. Apa yang Yesus lakukan pada masa itu tidak terlepas dari didikan dan ajaran orangtuanya, sehingga Yesus memiliki sifat kepatuhan terhadap BapaNya. Dengan tenang berada di dalam rumah ibadah dan bagaimana Yesus sudah sejak dini mengenal tentang Taurat sehingga Yesus berani duduk bersama dengan para alim ulama dengan pemikiran-pemikirannya yang cerdas karena Yesus sendiri telah mendapatkan pengajaran tersebut dari orangtuanya yang sangat setia dan patuh menyembah Tuhan dalam kehidupannya. Terlihat dari Yesus berada dalam rumah ibadah mendengar dan berbicara tentang Tuhan dan hukum taurat.

Mazmur 103:17

Berbicara tentang Daud yang mengetahui secara langsung betapa dosanya yang begitu besar dan betapa dia sudah diampuni oleh Tuhan. Daud menggugah hatinya dengan menceritakan belas kasihan Tuhan dalam keadilan, pengampunan yang besar, membuang dosa, karena KasihNya yang kekal. Artinya Daud mau mengatakan bahwa Tuhan selalu menyertainya bahkan sampai kepada anak cucunya mendapatkan kebaikan dan keadilan Tuhan, karena itulah Daud tetap menyembah Tuhan dalam hidupnya.

Aplikasi

Pendidikan Agama Kristen yang pertama sekali berada di dalam keluarga. Perlu dibangun kembali visi sebagai orangtua dalam mengasuh anak-anaknya. Orangtua adalah pendidik utama. Orangtua berperan dalam pertumbuhan iman anak-anak. Orangtua juga berperan dalam pembentukan karakter pada anak. Bagaimana keadailan kebenaran dapat mereka aplikasikan dalam hidup mereka. apa yang salah dan apa yang berkenan di mata Tuhan. Bagaimana teladan orangtua menjadi hal utama di dalam sebuah parenting (pola asuh anak). Memberi ruang pada anak-anak untuk berdiskusi, bertanya, mendidik anak sesuai kepribadian mereka. Memperhatikan kebutuhan secara fisik boleh saja, tapi juga perlu memperhatikan kesehatan mental di tengah keluarga kita. Keluarga yang berdoa bersama akan ada tawa bersama, duka bersama. Orang tua dan anak sama-sama menjadi cermin Inji Kristus. Keluarga yang setia menyembah Tuhan merupakan dambaan setiap keluarga. Dan hendaknya ini menjadi hal yang utama dilakukan di tengah keluarga Kristen, karena menyembah Tuhan merupakan sebuah kebaikan dan kesukacitaan. Perlu dipersiapkan dengan baik setiap keluarga untuk bisa menyembah Tuhan dalam Roh dan kebenaran. Bukan hanya bentuk rutinitas tetapi bagaimana setiap keluarga menikmati pertemuannya di Mezbah Tuhan. Secara sederhana kita bisa lakukan melalui ibadah keluarga, saat teduh atau doa bersama, dan lakukan secara rutin dan menjadi sebuah kebiasaan. Melibatkan seluruh anggota keluarga di dalam pembawa pujian, doa, renungan, dll. Sehingga setiap anggota keluarga dapat merasakan kedekatan bersama Tuhan sepanjang kehidupannya. Membiasakan diri untuk beribadah setiap hari Minggu ke Gereja. Dan masing-masing mengingatkan dan mempersiapkan diri setiap saat untuk hadir di tengah-tengah persekutuan yang ada di Gereja kita; misalnya, Ibadah Pekan Keluarga, Ibadah Pekan Doa, PJJ, Moria hadir di PA Moria, Permata hadir di persekutuan permata, begitu juga dengan mamre, KAKR, dan SAITUN.

Info Kontak

GBKP Klasis Bekasi - Denpasar
Jl. Jatiwaringin raya No. 45/88
Pondok Gede - Bekasi
Indonesia

Phone:
(021-9898xxxxx)

Mediate

GBKP-KBD